Ditjen Pajak acuh Asian Agri terus coba lawan tagihan pajak
Merdeka.com - PT Asian Agri yang tengah tersangkut kasus pidana penggelapan pajak terus menolak tagihan terutang sebesar Rp 1,3 triliun, karena dianggap terlalu besar. Pekan lalu, dalam konferensi pers dengan menggandeng ekonom Faisal Basri, perusahaan milik konglomerat Sukanto Tanoto itu mendesak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengubah basis penghitungan beban pajak perseroan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kismantoro Petrus menanggapi dingin sikap Asian Agri. Menurutnya, kasus tagihan pajak ini sudah masuk ke pengadilan pajak.
"Kita enggak bisa mengomentari pendapat Asian Agri, itu biarlah dibuktikan di pengadilan pajak," kata Kismantoro di kantornya, Jakarta, Selasa (25/2).
Ditjen Pajak meyakini, mekanisme penghitungan yang mereka gunakan buat menagih Asian Agri sudah tepat.
Kismantoro justru mempertanyakan, mengapa perusahaan sawit itu tak menyampaikan argumen mereka di pengadilan saja, tapi justru menggelar konferensi pers.
"Kalau ada teori seperti itu, bawa ke pengadilan dong. Kita kan tidak bisa membenahi sesudah kasusnya disidangkan. Jangan pakai jalan di luar pengadilan pajak," ujarnya.
Sebelumnya, ekonom sekaligus Penasehat Indonesia Research and Strategic Analysis Faisal Basri meragukan cara hitung Ditjen Pajak, sehingga menetapkan tagihan kepada Asian Agri mencapai Rp 1,3 triliun.
Dia menilai, Ditjen Pajak lebih pas bila menggunakan laba sebelum pajak dan bunga ditambah depresiasi perusahaan (EBITDA) untuk menghitung besaran pajak terutang Asian Agri. Dengan begitu, nilai pajak terutang perusahaan sawit ini menjadi lebih pasti
"EBITDA merupakan laba sebelum pembayaran bunga, pajak, penyusutan, dan amortasi," kata Faisal.
EBITDA Asian Agri, lanjut Faisal, mencapai Rp 7,2 juta per hektar. Sementara luas lahan yang dimiliki perseroan mencapai 146.000 hektar. Dengan demikian, mustahil kewajiban pajaknya tembus triliunan rupiah.
Meski tidak bisa menjadi patokan utama, setidaknya EBITDA lebih valid dijadikan dasar penghitungan besaran pajak.
"Jika terjadi rekayasa hasil penjualan dan mark-up biaya akan tercermin pada EBITDA. Ketidaknormalan itu mudah sekali dikenali," tandasnya.
Asian Agri terus merasa dizolimi pemerintah, lantaran diwajibkan membayar beban pajak melebihi laba yang didapat selama menjalankan bisnis kelapa sawit dalam kurun waktu 2002 hingga 2005.
Jika DJP menetapkan pajak terutang sebesar Rp 1,3 triliun, maka laba Asian Agri yang diperoleh dan dilaporkan seharusnya sebesar Rp 4,3 triliun. Untuk mendapatkan laba sebesar itu, Asian Agri harus menghasilkan laba sebelum pajak sebesar 57,3 persen. Dengan asumsi harga minyak sawit mentah sebesar USD 1.338 per ton selama empat tahun atau setidaknya mampu menghasilkan 15,5 ton per hektar.
Padahal, menurut dia, dalam rentang waktu tersebut Asian Agri tidak dapat menghasilkan laba sebesar itu. "Pada 2002 hingga 2005, Asian Agri hanya membukukan laba sebelum pajak sebesar 16,7 persen," kata Faisal.
Setelah diputus bersalah oleh Mahkamah Agung, Asian Agri baru bersedia membayar denda pidana dua kali pajak terutang atau sebesar Rp 2,5 triliun. Sisa tagihan DJP yang mencapai Rp 1,3 triliun digugat ke pengadilan pejabat dan prosesnya masih berjalan sampai sekarang.