Hari Air Sedunia : Sumber Air Baku dan Upaya Perlindungannya
SABTU, 22 Maret 2014, masyarakat dunia memperingati Hari Air Sedunia (World Water Day) dengan tema “Air dan Energi”. Aceh secara alamiah merupakan daerah yang kaya akan sumber air. Namun sejauh ini, masih belum mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengelola sumber air dan memberikan akses air bersih secara optimal kepada masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Aceh 2012-2017 mencanangkan bahwa target MDGs yang harus dicapai dalam memberikan akses air bersih kepada masyarakat adalah 87,9% pada 2017. Sementara hingga 2012 lalu, akses masyarakat Aceh terhadap air bersih baru mencapai 42,5%. Pertanyaannya adalah mampukah kita mengejar 45,4% lagi hingga mencapai 87,9% pada 2017 mendatang? Apa upaya yang harus kita lakukan untuk mewujudkan target tersebut?
Hari Air Sedunia selayaknya dijadikan momentum oleh para pelaku penyedia air bersih di Aceh untuk mengevaluasi dan memompa semangat bekerja lebih keras lagi di dalam memberikan akses air bersih kepada masyarakat. Saat ini Aceh memiliki 23 penyelenggara air bersih (PDAM, BLUD, BPAM, atau SPAM), dan hanya tiga di antaranya yang berstatus sehat (BPSPAM, 2013). Sebuah kondisi yang jelas mencerminkan tantangan besar dalam upaya meningkatkan akses pelayanan air bersih.
Di samping cakupan dan kinerja pengelolala air, kualitas dan keamanan air merupakan tantangan lainnya. Misalnya masalah pencemaran sumber air oleh air raksa atau merkuri yang kembali mencuat ke permukaan dalam dua bulan terakhir ini. Dinas Kesehatan Aceh Jaya melakukan survey ke 23 desa di lima kecamatan di Aceh Jaya yang terindikasi pencemaran logam berat dengan target khusus untuk meneliti kandungan merkuri di dalam sumber air.
Data Hasil Analisis Merkuri yang dikeluarkan pada 17 Desember 2013 dengan bekerja sama dengan Jurusan Kimia FMIPA Universitas Syiah Kuala ternyata cukup mencengangkan. Dari 125 titik pengambilan sampel di sumur gali, sumur bor, sungai, kolam mata air, dan jaringan pipa air minum BLUD, 75 titik di antaranya (60%) tercemar oleh merkuri.
Kurang perlindungan
Gencarnya upaya menggarap hutan menjadi lahan produktif dan penebangan pohon secara besar-besaran, kurangnya upaya perlindungan terhadap sumber dan daerah resapan air, dan perubahan iklim juga menyebabkan berkurangnya debit air yang tersedia sehingga secara otomatis juga akan berdampak terhadap kecukupan air bersih.
Survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa cakupan akses terhadap air minum di Aceh baru mencapai sekitar 45%, menempati urutan keenam terbawah, di atas Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Kalimantan Timur (Kaltim), Bangka Belitung (Babel), Riau, dan Papua.
Akses terhadap air bersih yang masih rendah berkorelasi langsung terhadap perilaku cuci-tangan, di mana Aceh juga menempati urutan lima terbawah di Indonesia: Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) 29%, Papua 29,3%, Kalimantan Selatan (Kalsel) 32,3%, Sumatera Utara (Sumut) 32,9%, dan Aceh (33,6%), sementara perilaku cuci-tangan rata-rata Nasional adalah 47,0% (Riskesdas 2013).
Dampak selanjutnya, Aceh juga menghadapi masalah water borne disease (penyakit yang dibawa oleh air), dalam hal ini diare di mana prevalensi diare pada usia dewasa menempati peringkat ketiga tertinggi di Indonesia setelah Papua dan Sulawesi Selatan (Sulsel). Sedangkan pada usia balita, Aceh menempati prevalensi diare tertinggi di Indonesia.
Satu aspek yang dapat dijadikan pintu masuk untuk menjaga ketersediaan akses terhadap air bersih yang semakin banyak dibutuhkan oleh masyarakat adalah adanya perangkat hukum yang dapat dijadikan sandaran bagi perlindungan dan keberlanjutan (sustainability) dari sumber air. Aceh belum memiliki Qanun (Perda) tentang perlindungan atau konservasi terhadap sumberdaya air, baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota.
Memang tidak banyak daerah di Indonesia yang telah meratifikasi hukum terkait perlindungan sumber air. Tercatat baru Provinsi Jawa Timur dengan Perda No.5/2011, Kota Malang dengan Perda No.17/2001, Kabupaten Tulungagung dengan Perda No.10/2012 untuk menyebut sedikit di antara 33 provinsi dan 511 kabupaten/kota di Indonesia yang telah serius melihat persoalan pentingnya sumber air dan upaya-upaya hukum yang perlu dilakukan untuk melestarikan sumber daya air.
Kabupaten Aceh Jaya dapat dijadikan contoh sebagai sebuah daerah yang selangkah lebih maju di dalam melihat persoalan sumberdaya air. Di tengah keprihatinan masalah merkuri seperti tersebut di atas, Pemkab Aceh Jaya juga tengah menyiapkan sebuah produk hukum untuk perlindungan sekitar 28 sumber air di wilayahnya. Terdapat dua opsi hukum yang dapat ditempuh untuk melindungi sumber air, yaitu dalam bentuk peraturan gubernur/bupati atau peraturan daerah (qanun).
Secara prinsip, keduanya bersifat regulatif (mengatur), berbeda dengan keputusan (SK) yang bersifat konstitutif (menetapkan). Perbedaan kedua bentuk peraturan ini antara lain bahwa proses ratifikasi (pengesahan) Qanun dilakukan melalui mekanisme legislasi di DPRD dan mengatur obyek yang umum. Sementara Perbup atau Pergub dapat disahkan oleh eksekutif an sich, tanpa meminta persetujuan DPRD dan mengatur obyek hukum yang lebih khusus.
Dalam konteks ini, Aceh Jaya sedang berproses melahirkan sebuah Peraturan Bupati (Perbup) tentang Perlindungan Sumber Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Alue Sundak, Desa Curek, Kecamatan Krueng Sabee. PMI dan American Red Cross memfasilitasi BLUD SPAM Tirta Mon Mata sebagai leading sector untuk secara kolektif bersama Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebuanan, Kantor Lingkungan Hidup, dan Bagian Tata Pemerintahan Setda Aceh Jaya untuk merumuskan perbup tersebut. Pada bagian lain di tingkat desa yang mengelola air bersih komunal, juga sudah dibuat reusam atau qanun gampong untuk melindungi sumber airnya.
Jika perbup ini dapat diratifikasi dalam waktu dekat, maka Aceh Jaya akan menjadi kabupaten pertama di Aceh yang mengatur tentang perlindungan sumber air. Dan diharapkan proses pembelajaran dari kegiatan penegakan hukum ini dapat menjadi preseden positif untuk melahirkan peraturan-peraturan serupa guna melindungi sumber air lainnya. Dan yang lebih penting sesudah peraturan ini dibuat adalah semua pihak dapat melaksanakannya dengan konsekuen.
Arah yang jelas
RPJM Aceh 2012-2017 sudah memberikan arah yang jelas tentang target yang hendak dicapai dalam bidang sumber air. Tindak lanjut berikutnya seharusnya diwujudkan ke dalam aksi pembangunan, penegakan hukum dan peraturan yang nyata di seluruh kabupaten/kota. Sisa pecapaian target MDGs sebesar 45,4% jika dibagi merata ke dalam setiap kabupaten/kota tentunya akan menjadi ringan karena dipikul secara kolektif, yaitu masing-masing kabupaten/kota menanggung sekitar 2%.
Tanggung jawab pembinaan ini pun saat ini telah didelegasikan kepada Badan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPSPAM) regional Aceh yang terus melakukan pengawasan dan pengayoman terhadap seluruh PDAM di Aceh. Persoalannya adalah apakah sikap kooperatif mampu ditunjukkan oleh PDAM di kabupaten/kota?
Jika punya semangat kebersamaan untuk memberikan akses air yang profesional, baik kualitas, kuantitas, maupun kontinuitas kepada masyarakat, maka sesungguhnya PDAM di daerah tidak perlu takut untuk membuka manajemen dan kondisi existing teknisnya ketika BPSPAM melakukan tinjauan ke daerah-daerah.
PDAM yang sehat tentu menjadi harapan dari setiap PDAM. Sebanyak 20 PDAM yang “masih belum sehat” karena masih disubsidi APBK, sudah saatnya untuk segera menata diri, menegakkan hukum dan peraturan, meningkatkan kemampuan teknis dan manajemen, memperluas dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan pada akhirnya mendukung target Nasional dalam pencapaian MDGs bidang air minum. Selamat Hari Air Sedunia!
Yulian Gressando
Sumber : http://aceh.tribunnews.com