Menteri PU Dianugerahi Gelar Doktor Honoris Causa oleh UGM
Universitas Gajah Mada (UGM) menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa atau Doktor Kehormatan (Dr HC) kepada Menteri Pekerjaan Umum (PU) Ir. Djoko Kirmanto, Dipl.HE di bidang Sumber Daya Air dan Lingkungan di Yogyakarta (19/3).
Ketua Tim Promotor Prof. Dr. Ir. Sunjoto, Dipl. HE mengatakan bahwa, diantara tokoh-tokoh yang diamati, ada tokoh yang sanggup menegakkan semangat kerakyatan tersebut justru dalam konteks krisis ekonomi-politik yang menantang; yaitu ketika Indonesia menghadapi tekanan internasional yang mempromosikan tata-nilai dan tata-fikir yang bertentangan dengan nilai-nilai kerakyatan.
"Tokoh tersebut adalah Ir. Djoko Kirmanto, Dipl. HE., ini bisa dibuktikan dengan prestasinya dalam kebijakan-kebijakan penyediaan air bersih, irigasi, konservasi sumber daya air, yang semuanya memiliki orientasi kerakyatan yang menonjol," tutur Sunjoto.
Sunjoto menambahkan, tapak kebijakan-kebijakan tersebut menunjukan bahwa Djoko Kirmanto telah mengembangkan semangat air untuk rakyat. Tapak tapak tersebut terbagi menjadi lima, yaitu, (1) Konsisten dalam keberpihakannya kepada rakyat, yang terlihat dalam berbagai kesempatan, (2)Menggalang ketahanan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air (3) Teguh dalam mencapai tujuan (4) Peka terhadap keberlanjutan lingkungan, dan (5) Berorientasi jangka panjang.
Pada kesempatan tersebut, Djoko Kirmanto menyampaikan Pidato Penganugerahan di Balai Senat UGM yang berjudul "Air Untuk Rakyat". Djoko mengatakan, bahwa apa yang diuraikan dalam bagian-bagian orasi tersebut adalah berangkat dari refleksi pengalaman dan perjalanan karir professional di Kementerian PU dan interaksi dengan masyarakat, akademisi, dan dunia usaha dalam pengembangan ke-PU-an maupun pengembangan infrastruktur kewilayahan.
"Saya akan secara spesifik membahas dinamika yang terjadi antara tahun 2004 hingga 2014, pada saat saya bertugas sebagai Menteri Pekerjaan Umum, yang memiliki tugas membantu Presiden merumuskan arah pembangunan nasional dan menterjemahkan RPJPN dan RPJMN ke dalam kebijakan, program, dan kegiatan di Kementerian PU, serta mengintegrasikannya dengan pembangunan di sektor-sektor lainnya," tutur Djoko, saat mengawali orasi ilmiah.
Dalam pidatonya Djoko menyampaikan berbagai kebijakan terkait tata kelola air yang ditujukan secara berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagai penjabaran dari berbagai perubahan paradigmatik yang telah diwujudkan khususnya dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, serta UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
"Kebijakan-kebijakan tersebut dapat saya kategorikan dalam 4 kebijakan utama, yaitu (1) Konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air, (2) Penataan dan pengembangan infrastruktur permukiman, (3) Penataan ruang, dan (4) Pengelolaan perubahan iklim melalui upaya mitigasi dan adaptasi,"kata Djoko.
Dalam rentang waktu 2010-2014 sebagai dukungan terhadap ketahanan air, Djoko mengungkapkan bahwa Kementerian PU telah melaksanakan pembangunan 28 waduk yang 11 diantaranya akan selesai pada tahun ini. Waduk-waduk ini akan menambah tampungan air sebesar 1.061,92 juta m3.
Komitmen dari Pemerintah khususnya untuk mendukung laju pertumbuhan ekonomi, melalui Kementerian Pekerjaan Umum diberikan perhatian khusus terhadap upaya-upaya diantaranya adalah, peningkatan ketahanan pangan nasional (beras), peningkatan volume pasokan air baku yang diperlukan oleh sektor industri, peningkatan pemanfaatan potensi sumber daya air untuk pembangkitan energi listrik sebagai sumber energi terbarukan.
"Hal ini dilakukan melalui pemanfaatan potensi energi yang belum termanfaatkan di bangunan-bangunan air utama dengan memanfaatkan kemajuan teknologi di bidang turbin dan pembangkit listrik. Potensi PLTA Indonesia sebesar 76.670 MW dan PLTM/PLTMH sebesar 770 MW merupakan asset yang dipercayakan oleh Tuhan dan harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," tambah Djoko.
"Saat ini, pemerintah tengah mengkaji pemanfaatan lebih dari 200 waduk dan bendung yang menjadi asset Kementerian PU untuk dapat dimanfaatkan sebagai PLTA atau PLTM. MoU antara Kementerian PU dan pihak swasta telah pula ditandatangani untuk melakukan kajian terhadap pembangunan waduk serbaguna di Kalimantan Barat," tutur Djoko.
Selanjutnya, Djoko mengungkapkan bahwa dibalik manfaat air yang yang demikian besar, tersembunyi kekuatan daya rusak yang tidak kalah hebatnya. Kerugian akibat bencana banjir di Jakarta, Semarang serta jalur pantura yang terjadi, BNPB memperkirakan bahwa kerugian finansial akibat banjir dan longsor di seluruh Indonesia pada awal tahun ini mencapai Rp. 10 Trilyun, dengan jumlah terbesar kerugian dialami Jakarta dengan Rp. 6 Trilyun, dan Jawa Tengah dengan Rp. 2,1 Trilyun.
Banjir di megapolitan, seperti Jabodetabekpunjur atau Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Puncak Cianjur, sebagai satu kesatuan ruang dan tata air, memerlukan penanganan yang "out of the box". Proyek NCICD atau National Capital Integrated Coastal Development atau yang juga dikenal dengan "giant sea wall", harus dikemas dengan proyek sodetan Ciliwung, proyek JEDI Jakarta Emergency Dredging Initiative, perbaikan drainase perkotaan, proyek “sewerage system” dan penegakan Perda RTRW terutama di kawasan Puncak.
"Sebagai tambahan, guna memberikan dukungan terhadap pengendalian daya rusak air, pada tahun 2010 - 2013 telah selesai dilaksanakan sepanjang 1.263 Km pembangunan kanal banjir dan pembangunan konstruksi pengaman pantai sepanjang 230 Km," tambah Djoko.
Perubahan paradigmatik kedua adalah di bidang penataan dan pengembangan infrastruktur permukiman, khususnya penyediaan air minum dan sanitasi yang lebih terlembaga dan mandiri di tingkat lokal, karena air minum merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Oleh karenanya air minum mutlak harus tersedia dalam kuantitas (jumlah) dan kualitas yang memadai, aman dan sehat untuk dikonsumsi.
Djoko mengungkapkan, pada tahun 2010-2011 telah diselesaikan pemasangan sambungan rumah bagi MBR sebanyak 77.000 SR tersebar pada 38 kabupaten/kota. Program ini dilanjutkan untuk periode 2012-2015, senilai Rp. 900 milyar di 116 Kabupaten/Kota, dan hingga Januari 2014, jumlah SR yang tercapai adalah 113,8 ribu SR dari sasaran 300 ribu SR.
Dalam rangka penyediaan air minum dan sanitasi untuk rakyat, berbagai upaya perlibatan masyarakat (Community Based Development) telah diimplementasikan, melalui kegiatan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS). Program yang telah dilaksanakan sejak 2008 dan sampai tahun 2012 telah terbangun pada 6.855 desa. Program ini dilanjutkan pada tahun 2013-2016 untuk 5.000 desa lagi.
Pembiayaan program PAMSIMAS dilaksanakan melalui dana Pemerintah Pusat, Kabupaten/Kota, dan dana swadaya masyarakat. Alternatif pembiayaan non pemerintah dalam penyediaan air minum juga didorong. Sebagai contoh, Program PAMDES (Penyediaan Air Minum Perdesaan) yang dikembangkan oleh UGM di wilayah DIY dan sekitarnya, bisa memberikan pilihan bagi masyarakat yang tinggal di daerah perdesaan.
"Selama perode 2004-2013, kapasitas produksi meningkat hampir 2 (dua) kali lipat dari 99.400 l/detik menjadi 168.000 l/detik. Akses air minum aman telah meningkat dari 42% di tahun 2004 menjadi 61% di tahun 2013,"kata Djoko.
Pengelolaan sumber daya air tidak dapat dipisahkan dari upaya penataan ruang. Ini adalah perubahan paradigm ketiga. Hanya dengan mengalokasikan ruang secara baik, dan diawasi pelaksanaanya dengan aturan yang efektif, maka kepentingan manusia dan kehidupan dapat terakomodasi secara berkelanjutan. Pemanfaatan ruang untuk tata air serta peruntukan lahan untuk jaringan air irigasi, air minum, pengelolaan banjir dan distribusi air baku harus dijamin oleh Negara dan pemerintah sehingga masyarakat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari keberadaan air di wilayah Nusantara ini.
"Hingga bulan Desember 2013, misalnya persetujuan substansi untuk RTRW Provinsi, Kabupaten, dan Kota sudah mendekati 100%, sedangkan kemajuan Perda RTRW untuk Provinsi mencapai 54,5%, Kabupaten 64,4%, dan Kota 75,3%. Dengan demikian, saat ini sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia telah memiliki Perda RTRW yang merupakan dasar dalam pelaksanaan pembangunan, termasuk dalam memberikan izin investasi pembangunan di daerahnya,"tambah Djoko.
Perubahan paradigm keempat adalah, adaptasi terhadap perubahan iklim yang dilakukan, seperti melalui program di lingkungan permukiman, penyiapan desa tangguh (resilient village), serta desain mutakhir infrastruktur jalan yang memasukkan rute evakuasi, akan menjadi bagian penting dari kebijakan ke-PU-an di masa yang akan datang.
Kementerian PU juga termasuk K/L pertama yang telah membentuk Tim MAPI dan menetapkan RAN MAPI bidang Pekerjaan Umum, sehingga program-program pembangunan ke-PU-an juga mengarusutamakan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Untuk itu, strategi yang utama untuk mendukung tugas mulia “Air Untuk Rakyat” adalah pelembagaan tata kelola air yang pro-rakyat dan berkelanjutan, serta yang dapat segera terwujud secara efektif sampai dengan tingkatan pemerintah daerah dan masyarakat, berbasis inklusif dan kemandirian.
"Secara kelembagaan, perubahan-perubahan yang ada harus diantisipasi melalui reformasi dan transformasi. Proses pembangunan sumber daya air harus inklusif dan partisipatif, serta membutuhkan tata kelola yang terus menerus disempurnakan. Pembentukan Dewan Sumber Daya Air merupakan refleksi partisipatif dari pemangku kepentingan. Hal ini akan menjadi titik tolak penataan kelembagaan pada tingkat yang lebih rendah," kata Djoko.
Strategi berikutnya berkaitan dengan pembiayaan pembangunan. Komitmen pembiayaan pemerintah melalui pajak dan pendapatan pemerintah harus menjadi tumpuan utama mengingat air adalah digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara dan pemerintah harus hadir dalam setiap upaya menyediakan akses bagi masyarakat yang membutuhkan.
Potensi pendanaan sektor swasta perlu diperhatikan dan diakomodasi dalam pengelolaan Sumber Daya Air. Sebenarnya hal ini sudah sejalan dengan kesadaran akan arti penting kepastian pasok air, lingkungan yang sehat, dan tingkat perlindungan terhadap daya rusak air untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Kecenderungan ini perlu diakomodasi, dan pada saat yang sama fungsi-fungsi sosial dan lingkungan air harus tetap terlindungi.
Riwayat Djoko Kirmanto
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian PU menjelaskan bahwa Menteri PU Djoko Kirmanto mengawali kariernya di Kementerian PU (dahulu Departemen PU) di tahun 1967 sebagai Site Engineer pembangunan pondasi Karang Semut Yogyakarta.
"Berbagai jabatan karier pernah diemban, terakhir adalah sebagai Sekretaris Jenderal di tahun 2002-2003. Selanjutnya, di tahun 2004 diangkat sebagai Menteri PU sampai saat ini, artinya bapak Djoko Kirmanto menjabat sebagai Menteri PU di dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," tambah Danis.
Djoko menyelesaikan pendidikan sarjananya di Jurusan Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun 1969 dan pasca sarjananya di Land and Water Development, IHE-Delft, Belanda pada tahun 1977.
Sebelumnya, di tahun 2005, Djoko juga dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa (HC) dalam Ilmu Teknik Bidang Pembangunan Wilayah dan Kota oleh Universitas Diponegoro. Selain itu,juga mendapatkan berbagai penghargaan dari Presiden, diantaranya Satya Lencana Pembangunan (1995), Satya Lencana Wira Karya (1996), Satya Lencana Karya Satya XX Tahun (1996), Satya Lencana Karya Satya XXX Tahun (2001) dan terakhir adalah Bintang Mahaputra Adipradana (2013). (nrm)