“Aceh Jadi Objek Persaingan Politik”
BERAGAM tanggapan dilontarkan para pimpinan dan tokoh-tokoh partai politik di Aceh terkait mencuatnya informasi bahwa PDI Perjuangan berencana menggugat Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua DPP Partai Nasional Aceh (PNA) yang juga mantan anggota support group tim perunding GAM di Helsinki, Munawarliza Zainal berharap agar rakyat Aceh tidak diadu domba untuk kepentingan politik sesaat, sehingga rakyat dapat memilih calon presiden sesuai hati nurani dan tidak dalam kondisi terancam.
“Berita itu dari tahun 2005. Memang saat itu PDIP tidak terima MoU Helsinki. Tapi setelah sosialisasi dari pemerintah kepada partai-partai, akhirnya semua partai tidak pernah kita dengar lagi ada yang mempersoalkan MoU Helsinki,” kata Munawarliza.
Menurut Munawarliza, munculnya pemberitaan itu karena adanya persaingan politik di Jakarta dan menjadikan Aceh sebagai objek sehingga muncul keresahan di Aceh. “Ini harus diwaspadai. Siapa pun presiden, harus memegang MoU Helsinki, karena itu perjanjian antara GAM mewakili rakyat Aceh dengan pemerintah Indonesia, disaksikan dunia,” tandas mantan wali kota Sabang ini.
Tanggapan juga disuarakan Juru Bicara Partai Aceh (PA) Fachrul Razi. Menurutnya, judicial review (JR) terhadap UUPA hanya bisa dilakukan oleh rakyat Aceh, bukan pemerintah atau partai politik yang mempunyai kepentingan.
“Kalau memang UUPA ini akan di-JR, apa kepentingannya? Sekarang pertanyaannya siapa yang ingin mengubah itu kalau bukan atas keinginan masyarakat Aceh. Yang bisa mengubah UUPA adalah atas kepentingan rakyat Aceh dan soal ini diserahkan kepada DPRA yang telah dipilih rakyat Aceh secara demokratis,” katanya.
Ketua DPW Partai NasDem Aceh, Zaini Jalil juga memberikan tanggapan. Menurut Zaini, apabila wacana JR UUPA benar adanya, maka ini akan menjadi tanggung jawab para anggota parlemen terpilih. “Bicara setuju atau tidak soal judicial review ini, tentu harus ada komunikasi dengan pemda, partai politik, anggota parlemen di Jakarta, dan orang-orang Aceh yang akan membahas ini,” ujarnya.
Ia berharap seandainya JR itu terjadi, siapa pun anggota parlemen yang terpilih harus mendengarkan keinginan rakyat Aceh. “Dengarlah suara rakyat Aceh terhadap wacana ini (setuju atau tidak),” harap Zaini.
Tanggapan yang agak beda disampaikan salah satu elite Partai Nasional Aceh (PNA) yang juga mantan perunding GAM, M Nur Djuli. Dia menilai UUPA memang sudah semestinya diamandemen karena banyak poin-poinnya yang tidak sesuai dengan MoU Helsinki. “Sejauh MoU tidak terganggu, maka amandemen terhadap UUPA memang sudah semestinya dilakukan. Hal ini agar poin-poin yang tidak sesuai dengan MoU bisa disesuaikan,” ujar Nur Juli.
Informasi yang menyebut PDIP akan menggugat (judicial review) UUPA juga ditanggapi oleh Ketua DPD I Partai Golkar Aceh, Sulaiman Abda. “Namun saya belum dengar informasi itu,” kata Sulaiman menjawab Serambi, Senin (14/4).
Menurut Sulaiman Abda, UUPA itu lahir merupakan tindak lanjut dari isi kesepakatan damai Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
“Apakah perdamaian yang dilakukan Pemerintah RI dengan GAM untuk mengakhiri konflik Aceh masih ada pihak yang kurang setuju?,” kata Sulaiman Abda mempertanyakan.(sr/her)